Batas Rindu

13.41

Aku selalu membenci suasana stasiun kereta, apalagi romansa bandara. Disana hidup memang terlihat  sungguh adil, keadilan memang selalu menyedihkan. Mereka yang turun dari kereta atau pesawat terlihat bahagia, terburu-buru lari keluar kemudian dengan sigap mencari kepala-kepala  atau wajah-wajah yang mereka sangat kenal, keluarga saudara atau pasangan. Mereka yang juga sama tidak sabarnya menunggu di peron atau dibalik dinding kaca penyekat seiap bagian bandara. Lalu di akhiri dengan pelukan-pelukan paling dalam dan air mata, penanda keterlaluan bahagia.
        Lain cerita dengan calon penumpang kereta atau pesawat. Terlihat di bangku-bangku peron atau ruang tunggu bandara. Berjajar koper -koper berbagai ukuran dan pemiliknya sedang duduk di kelilingi pengantar. Mereka terlihat enggan meninggalkan atau ditinggalkan. Hingga hanya suara pengeras suara yang memberitahukan bahwa kereta atau pesawat akan segera berangkat yang dapat memisahkan mereka. Melepaskan pelukan rasa selimut pagi buta, hangat dan nyaman. Iya pelukan itu persis sama seperti hangatnya selimut yang terasa lebih hangat ketika shubuh datang. Sulit untuk disibak.
      Aku sendiri pernah bermain peran dalam adegan-adegan penuh drama di stasiun dan bandara. Bandara abd. Saleh malang tepatnya. 13 agustus 2015 aku adalah calon penumpang Lion air tujuan Jakarta, yang sialnya hingga catatan ini ditulis aku belum penah berperan sebagai penumpang yang turun dari Pesawat.
Pagi itu kakak saya sedang dalam cuti, karena kehamilannya sudah memasuki bulan ke-9. Toko ibu sengaja tutup jauh lebih awal dari hari normal, semua jadwal kunjungan sales, suplier dan kedatangan barang semua dialihkan di hari atau minggu berikutnya. Bapak ku bahkan bangun lebih pagi, menyerahkan semua tugasnya kepada mandor kepercayaannya demi memastikkan pengiriman tebunya selesai sesuai jadwal. Kakak iparku, pegawai yang terkenal teladan, mantu kesayangan ibu dan bapak ku (karena memang mantu mereka hanya satu) sengaja mengubah shift kerja agar bisa pergi menggantarku.
   Epis, sengaja datang atau bangun pagi lebih tepatnya, untuk sekedar berucap "hati-hati di jalan". Terima kasih untuk epis dan galih, untuk kado perpisahannya. Buku paling bagus yang aku punya, lengkap dengan foto-foto edan kita saat masih menjadi bagian mahasiswa sastra. Fakultas cerita segala rasa. Tapi, yang sampai saat ini aku tidak mengerti sampai sekarang, kenapa ada foto si Bruno mars kw super juga disana? Apakah felisitus juga teman kita?hhhaaa, tus bercanda. Buku catatan tempat dimana jarang aku menulis catatan disana, karena aku takut lembarnya cepat habis.
      Dan aku sendiri, enggan membuka mataku pagi itu. Tiba-tiba saja aku malas menghadapi dunia hari itu. Pemandangan pertama pagi itu seperti biasa, Tv yang terjaga sepanjang malam hingga menimbulkan efek hangat di atasnya. Karena kehangatan yang ditimbulkan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat tidur favorit temanku yang berbulu. Jadi setiap pagi aku selalu melihat ekor panjangnya menjuntai indah menutupi sebagian layar monitor TV. Pemilik ekor itu bernama mimi, temanku. Yang sayangnya hanya dianggap pekerja pencari tikus di rumah oleh ibu.  Setiap malam dia menyelinap ke kamarku lewat celah diantara jendela yang sengaja aku buat. Oh... mimi hari ini hari terakhir kita backstreet dari ibu. *FYI ibu selalu melarangku seranjang dengan semua makhluk pejantan, termasuk mimi. Kucing jantanku.
     Pukul 11.45 WIB jadwal keberangkatan pesawatku. Aku masih ingat betul harum punggung tangan orangtua ku. Harum tanah campur pupuk dari tangan ayahku. Wangi berbagai bumbu dapur dari tangan ibu tangguhku. Punggung-punggung tangan yang sanggup membuatku berbalik pulang walau sudah setengah jalan, saat aku lupa menciummnya. Entah ada rasa yang kurang, tidak nyaman atau ketinggalan saat aku lupa melakukan ritual khas orang jawa itu, mencium tangan orang tua. Bentuk pipi-pipi mereka yang mulai penuh guratan tanda penuaan, yang masih tanpa sungkan kuciumi bertubi-tubi di depan semua orang.
       Kamis itu, formasi duduk dalam mobil agak berbeda dari biasanya. Aku memilih berbagi duduk dengan ibu di jok depan, demi tidak ingin kehilangan sedetikpun pelukannya. Hingga akhirnya kami sampai di bandara yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari Rumah. Jangan tanya lagi semerah apa mata dan raut mukaku, yang sejak tadi menahan air yang sudah diujung pelupuk mata. Untungnya aku bermain peran baik hari itu, karena air itu keluar ketika aku sudah di dalam pesawat.
     
       Apa kabar makhluk kecil yang waktu itu masih meringkuk di dalam perut kakakku?

      Apa kabar mimi sekarang? Apa dia masih saja mencuri ikan bandeng kesukaan bapak? Atau kamu masih di upah ikan asin campur nasi oleh ibu? Apakah kamu masih masih menjilati semua tubuhmu diatas keset Manchester United di depan kamarku?

     Tv Toshiba tua tahan banting kesayanganku, pasti mesinmu tidak pernah sepanas ketika aku ada. Apa kamu kesepian di kamarku? Pasti sejak kepergianku, sudah tidak ada yang menontonmu. Anggap saja itu istirahat, karena selama aku ada, kamulah yang menontonku sepanjang malam, bukan sebaliknya. Karena tanpamu, sungguh aku insomnia. Kamu pengantar tidur terbaikku.
 
   Apa kabar lontong cap go meh tetangga-tetangga cinaku, apa kalian masih seberlemak dan se-menggoda dahulu?

   Apa kabar rumahku? Yang sering jadi titik tuju pertemuan semua teman-temanku. Apa pohon kelengkeng yang membuat halaman teduh masih saja tidak berbuah? Apa warna pagarmu masih hijau muda?

  Apa kabar juga rumah keduaku, rumah yang bertuliskan  TOKO PRIBUMI super besar di jidatnya, tapi masih tetap saja di kenal sebagai 'TOKO e pak Asmadi' atau bahkan 'TOKO e pak mandor' oleh semua orang.  apakah etalase-etalase produk dan kulkas sumbangan minuman-minuman bersoda makin penuh sesak mamadatimu? Kadang aku juga rindu, menjadi pengganti ibu sebagai penjagamu. Tenggelam sepanjang hari dibalik monitor, kalkulator dan juga mesin detektor berlampu ungu, penanda asli atau palsunya uang. Meja kasir hasil rintisan orang tuaku yang selalu aku benci, karena aku selalu berfikir karierku akan berakhir disana, berhitung, duduk setiap hari, pegal dan membosankan. Tanpa aku sadar, aku juga merindukan duduk disana. Bertemu berbagai macam rentang umur, karakter orang, profesi bahkan teman lama. Tanpa banyak yang tahu, kamu adalah salah satu alasan kepergianku.

Entah harus menjelaskan sepanjang apa lagi, jika aku sudah sangat merindukkan kota kelahiranku. Malang, kota dengan pagi yang gloomy, siang yang berpolusi dan malam yang riuh apalagi jika Arema sedang bertanding di kandang. Andai saja rinduku berupa air di dalam gelas ukur, aku sudah melebihi takaran. Rinduku pada kampung halamanku, rumahku, orangtuaku, kelurgaku, temanku, kucing - kucingku dan kamu.


You Might Also Like

0 komentar