Pernah Ababil -Karya Panjang Pertama- Lembar 3

12.47

Mewakili murid normal di Indonesia

Saat itu hari pertama,kedua,ketiga berlalu tak begitu saja. Juga pelajaran yang gue tempuh mulai dari bahasa Jerman,matematika,fisika, biologi , geografi, ekonomi, sosiologi, sejarah, olahraga, agama, bahasa Indonesia, bahasa Inggris,bahasa sansekerta (engga deeng) sampai gak nyadar nulis apa karena saking panjangnya nyebutin pelajaran apa aja yang harus dipelajari anak umur 16 tahun di Indonesia. Entah apa yang dipikirin menteri pendidikan dengan memberikan matapelajaran segitu banyak. Apa menurut pak menteri kita bakal mengerti segala aspek kehidupan dengan mempelajari semua matapelajaran itu,atau menurut para guru kita semua para murid bisa kaya dan sukses dengan bisa mengahafal semua matapelajaran itu? Jawabannya Cuma satu nothing atau non sense (kalau gitu jawabannya dua -_-“). Saya mewakili semua para murid seantero indonesia dengan ini menyatakan dan menggugat sistem pendidikan di Indonesia. Belum lagi masalah SKM ( susu kental manis) eh bukan itu,maksudnya Standar Kelulusan Minimal,tuh kan dari namanya aja udah rancu. Kita semua dipaksa mendapatkan nilai minimal 75 (waktu zaman saya) mungkin sekarang nilai SKM udah 110 karena setiap tahun SKM itu naik terus kayak harga BBM bersubsidi. Bener aja budaya nyontek itu dilestarikan dan dihalalkan di Indonesia, gila aja kita di haruskan dapet nilai 75 untuk lebih dari 12 matapelajaran. Emang sih ada anak yang bahkan dapet 100 bulet untuk semua mata pelajaran, tapi anak-anak seperti itukan anak anak kaum minoritas yang emang punya gen dengan IQ excellent. Lha kita anak-anak kaum mayoritas yang rata-rata punya IQ satandard antara 80-110 mau di anggep apa? Bodoh? Kita bukan bodoh, lebih tepatnya kita normal karena anak-anak yang punya IQ excellent itu biasanya (maaf) Autis. Anak yang memang di anugrahi Tuhan lebih dibagian otak, tapi Tuhan itu adalah se adil-adilnya hakim, kita kamu mayoritas atau anak normal di anugrahi bakat masing, namun hanya 1 bidang. Lha kenapa kita gak diarahin ke satu bidang yang kita suka dan memang dianugrahkan Tuhan buat kita. Bahasa ilmiahnya sih sesuai bakat dan minat atau passion. Bukan malah belajar semua-muanya itu dengan menarik garis yang sama yang disebut SKM tadi.
Ini itu gak adil banget buat kita para murid normal,yang punya satu kelebihan. Sebagai contoh aja misalnya kita yang punya kelebihan dibidang bahasa asing, kenapa harus dipaksa belajar matematika dengan nilai 75 pula,gillakk gak tuh. Toh nanti kalau kita yang emang fokus dibidang bahasa asing dan nantinya mungkin kita bisa jadi tour guide dengan rata-rata fee 450 ribu/ 10jam dan diitung-itung gak sampai sebulan tour giude itu bisa ngumpulin duit 10 juta lebih dengan uang segitu kita bisa bayar accounting (orang yang menurut gue pinter matematika) lha terus kenapa dulu kita belajar matematika sampai mati-matian, kalau ujung-ujungnya kita bisa bayar orang buat ngitung duit kita,nah lho...tuh kan bapak-ibu pengurus sistem pendidikan indonesia, bahwa sanya penting pakek banget memfokuskan satu saja matapelajaran yang sesuai bakat dan minatnya. Saya yakin pak buk menteri kalau anda-anda sudah memfokuskan satu matapelajaran, budaya nyontek, ngerpek, bahkan sampai beli jawaban UN akan hilang dari bumi indonesia ini. Mungkin di surga sana, sekarang bapak K.H dewantara sedang menangis dan menyesal, karena sistem pendidikan yang beliau buat sedemikian rupa sudah dirusak dan disalah gunakan para penerusnya. Apa kalian tidak kasihan melihat K.H Dewantara menangisi sistem pendidikan kita,,jangan menangis pak dewantara kita para murid di Indonesia baik-baik saja kok,kalau kata mas bondan prakoso sih coz everything gonna be okay. Bangsa kita masih punya sosok negarawan tulen yang masih bisa mengurus pendidikan sebut saja bapak Anis Baswedan walaupun cadangan orang seperti pak Anis di Indonesia kini seperti harimau sumatra, yang spesiesnya semakin lama semakin berkurang kalaupun muncul ke perkampungan penduduk pasti langsung diburu dan dimasukkin sel, Antasari azhar contohnya.

You Might Also Like

0 komentar